Jakarta – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengumumkan proyek pengolahan gasifikasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME) sebagai proyek terbesar dalam upaya hilirisasi sumber daya mineral di tahun 2025. Proyek ini menjadi bagian dari 21 proyek hilirisasi yang direncanakan, dengan nilai investasi mencapai US$40 miliar atau sekitar Rp656,23 triliun (berdasarkan kurs Rp16.405 per dolar AS). Dari total nilai investasi tersebut, proyek DME menyumbang nilai investasi signifikan sebesar US$11 miliar atau sekitar Rp180,36 triliun, Rabu, 5 Maret 2025.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Tri Winarno, menyatakan bahwa proyek DME memiliki empat subproyek yang diharapkan dapat membantu memenuhi kebutuhan energi dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada impor LPG. "Paling gede DME, DME-nya empat proyek. Nilai investasi untuk keempat proyek ini sekitar US$11 miliar," ujar Tri di Kantor Kementerian ESDM pada Selasa, 4 Maret 2025.
Dalam rencana besarnya, selain DME, terdapat proyek hilirisasi lain yang akan menjadi fokus pemerintah, termasuk satu proyek hilirisasi besi, satu proyek alumina, tujuh proyek aluminium, dua proyek tembaga, dan dua proyek nikel. Skema pembiayaan proyek-proyek ini, menurut Tri, masih dalam tahap pembahasan. Namun, pemerintah memastikan bahwa tidak ada keterlibatan investor asing dalam pendanaan proyek-proyek ini. Pendanaan akan bersumber dari dana dalam negeri, salah satunya melalui Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara).
"Bukan dari investor asing, kita gunakan duit kita sendiri," tegas Tri. Ia menambahkan bahwa beberapa badan usaha milik negara (BUMN) akan terlibat sebagai pelaksana proyek DME ini, yang merupakan langkah pemerintah dalam mendorong hilirisasi batu bara dan menggantikan penggunaan LPG impor.
Gasifikasi batu bara menjadi DME diarahkan untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada impor LPG. Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, kemampuan produksi LPG dalam negeri hanya 2 juta ton per tahun, sementara kebutuhan domestik mencapai 8 juta ton. Akibatnya, Indonesia masih mengimpor sekitar 6 juta ton LPG per tahun dengan nilai sekitar US$3,45 miliar. Lebih lanjut, Indonesia harus menghabiskan devisa signifikan senilai Rp450 triliun setiap tahun untuk impor minyak dan gas, termasuk LPG.
Kendati menjadi prioritas, proyek DME di Indonesia hingga saat ini belum menunjukkan hasil yang signifikan. Beberapa perusahaan besar seperti PT Bukit Asam Tbk (PTBA), Indika Energy (INDY), dan PT Adaro Energy Indonesia Tbk. (ADRO) dilaporkan mengalami kendala dalam merealisasikan proyek tersebut. "Sejauh ini, proyek-proyek terkait masih dalam tahap pengembangan dan menghadapi beberapa tantangan yang perlu diatasi," ungkap Tri tanpa merinci tantangan yang dihadapi.
Pemerintah berharap proyek DME dan proyek hilirisasi lainnya dapat meningkatkan kemandirian energi nasional dan memperkuat struktur ekonomi Indonesia. Dengan memanfaatkan sumber daya batu bara menjadi produk yang lebih bernilai tambah seperti DME, Indonesia diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada impor energi dan memperkuat ketahanan energi nasional.
Tri menambahkan, "Proyek seperti DME ini adalah bagian dari visi kami untuk memaksimalkan potensi sumber daya alam Indonesia secara berkelanjutan dan mengurangi ketergantungan pada sumber energi impor."
Dalam menghadapi tantangan ini, pemerintah tetap optimis proyek ini akan menjadi tonggak utama dalam sejarah pembangunan energi Indonesia, meski diakui masih terdapat kendala yang perlu diselesaikan. Semua pihak terkait diharapkan bekerja sama untuk memastikan keberhasilan proyek ini sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.
Proyek hilirisasi energi, terutama gasifikasi batu bara menjadi DME, menjadi penanda komitmen pemerintah Indonesia dalam mendorong penggunaan energi yang lebih berkelanjutan dan mengurangi dampak lingkungan dari penggunaan batu bara. Dengan terobosan ini, Indonesia bercita-cita untuk menjadi negara yang mandiri dalam memenuhi kebutuhan energinya sendiri.