BNI

Audiensi Kasus Koperasi Bodong BNI di Pematangsiantar Berakhir Ricuh

Audiensi Kasus Koperasi Bodong BNI di Pematangsiantar Berakhir Ricuh
Audiensi Kasus Koperasi Bodong BNI di Pematangsiantar Berakhir Ricuh

JAKARTA - Pemandangan tidak menyenangkan terjadi di Pengadilan Negeri (PN) Pematangsiantar pada Senin, 24 Februari 2025 saat audiensi yang membahas kasus koperasi bodong Bank Nasional Indonesia (BNI) berakhir dengan kericuhan. Peristiwa ini menarik perhatian publik karena melibatkan sejumlah pihak terkemuka, termasuk perwakilan korban dan lembaga perbankan BNI.

Audiensi ini dipimpin oleh Ketua PN Pematangsiantar, Rinto Leoni Manullang, dan dihadiri oleh Hotna Rumasi Lumbantoruan selaku perwakilan dari para korban kasus koperasi bodong. Pada mulanya, jalannya audiensi berlangsung dengan tertib sampai kemudian berlangsung ketegangan setelah pernyataan yang dikeluarkan Rinto.

Rinto Leoni Manullang menjelaskan bahwa PN Pematangsiantar tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan surat rekomendasi guna menelusuri aset-aset para tergugat. "Penggugat harus memetakan aset-aset pihak tergugat dan memastikan jika harta benda itu milik tergugat dengan bukti surat. Tindakan itu harus dilakukan korban bukan pengadilan," ujar Rinto.

Pernyataan tersebut memicu protes keras dari pihak korban, yang menilai tanggapan itu sebagai penghambat proses pengajuan keadilan mereka. Hotna, mewakili para korban, mengungkapkan ketidakpuasan. "Untuk menanyakan aset-aset itu, BPN minta legalitas kami. Mereka meminta surat rekomendasi dari Pengadilan dan kami sudah melayangkan permohonan. Tapi tidak ada tindak lanjut dari pengadilan," kata Hotna dengan nada kecewa.

Situasi semakin memanas ketika nada suara kedua belah pihak mulai meninggi dan saling bentak. Rinto Manullang bahkan mengancam akan mengeluarkan Hotna jika terus-menerus berteriak, namun ancaman tersebut tidak dihiraukan oleh Hotna. Adu mulut yang sengit tidak terhindarkan hingga pada akhirnya Rinto memilih meninggalkan ruangan.

Kasus ini mencuat karena pembayaran ganti rugi dari pihak tergugat belum terlaksana, meski sudah ada putusan bernomor 40/Pdt.G/2020/PN Pms, PT Medan Nomor 33/PDT/2021/PT, dan PK Nomor 1278 PK/Pdt/2023. Putusan pengadilan di berbagai tingkat, dari pengadilan tingkat satu hingga Mahkamah Agung, telah memerintahkan para tergugat untuk membayar ganti rugi secara tanggung renteng sebesar Rp4.090 miliar.

Gugatan tersebut diajukan terhadap sejumlah tergugat, termasuk Direktur Utama PT BNI (Persero) Tbk (cq. Kepala Kantor Wilayah BNI Medan, cq. Kepala Kantor BNI Cabang Pematangsiantar) selaku tergugat I, Pengurus Koperasi BNI Cabang Pematangsiantar selaku tergugat II, Fachrul Rizal alias Pahrul (eks Kepala Kantor BNI Cabang Pematangsiantar) selaku tergugat III, dan Rahmat alias Rahmad (eks Penyelia JUC PT BNI Cabang Pematangsiantar) selaku tergugat IV. Tergugat lainnya termasuk nama-nama seperti Agus Surya Dharma, Siti Aisyah Pulungan, Tressa Evawani, Hadi Warsono, dan Sucipta Ritonga yang merupakan mantan anggota pengurus Koperasi Swadharma.

Para korban kasus ini mencemaskan nasib mereka yang hingga sekarang belum mendapatkan keadilan dan ganti rugi yang telah ditentukan. Sumber masalah yang menjerat mereka adalah implementasi yang buruk dari manajemen koperasi bodong yang sempat berafiliasi dengan BNI Cabang Pematangsiantar.

Kericuhan ini menyoroti masalah hukum dan penegakan keadilan di Indonesia, terlebih ketika menyangkut dinamika antara warga negara dan korporasi besar. Kasus ini menjadi bahan diskusi hangat dan mendorong banyak pihak untuk menanyakan sejauh mana tanggung jawab hukum lembaga perbankan tersebut, serta bagaimana tindakan selanjutnya dari pengadilan terkait tuntutan para korban.

Sebagai salah satu badan keuangan terkemuka di Indonesia, BNI diharapkan menjawab keluhan dan memikul tanggung jawab atas masalah-masalah yang terjadi di bawah cakupannya sesuai dengan jalur hukum yang telah ditetapkan. Dengan perhatian media dan masyarakat yang meningkat, berbagai pihak kini mengharapkan penanganan yang lebih transparan dan adil dalam penyelesaian kasus-kasus semacam ini di Indonesia.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index