JAKARTA - Pada dasarnya, model bisnis maskapai penerbangan murah dikembangkan untuk menawarkan tarif yang lebih terjangkau kepada konsumen dengan menghilangkan fasilitas tambahan seperti makanan dan hiburan dalam penerbangan. Selama beberapa dekade terakhir, model ini berhasil menggandeng banyak penumpang yang mencari budget travel. Akan tetapi, saat ini terdapat indikasi bahwa model maskapai penerbangan murah mulai terhantam oleh serangkaian tantangan yang mengancam kelangsungannya.
Baru-baru ini, tawaran akuisisi Spirit Airlines oleh Frontier Airlines senilai $2,16 miliar kembali ditolak, menunjukkan kesulitan penggabungan sebagai jalan keluar bagi maskapai murah yang sedang berjuang. Tawaran sebelumnya dari Frontier pada tahun 2022 senilai $2,9 miliar, bahkan sempat digagalkan oleh penawaran lebih tinggi dari JetBlue yang mencapai $3,8 miliar. Namun, pasca penolakan kerjasama mereka dengan JetBlue oleh Departemen Kehakiman, Spirit akhirnya mengajukan kebangkrutan pada November tahun sebelumnya.
Adapun model tradisional maskapai murah, yang beroperasi dengan menawarkan harga tiket lebih terjangkau dibanding maskapai tradisional di rute domestik, mengalami tekanan signifikan. Mereka biasanya mengandalkan bandara sekunder dengan biaya operasional yang lebih rendah. Namun demikian, persaingan dengan maskapai tradisional, lonjakan biaya tenaga kerja, dan pemeliharaan memicu erosi perlahan model ini.
Mike Boyd, konsultan penerbangan sekaligus Presiden Boyd Group International, mengungkapkan kepada Yahoo Finance, "Model ultra-murah itu sudah tidak ada karena mereka tidak memiliki biaya ultra-murah. Model tersebut sedang menguap."
Penurunan performa ini semakin jelas terlihat ketika investor mengamati saham maskapai penerbangan murah. Saham JetBlue, misalnya, mengalami penurunan setelah proyeksi tahun 2025 menggambarkan kondisi yang mengecewakan bagi Wall Street. Dalam laporan kuartal keempatnya, JetBlue mengaitkan penurunan ini dengan biaya operasional yang lebih tinggi serta pendapatan yang lebih rendah dari yang diharapkan.
CEO Southwest Airlines, Bob Jordan, juga menyoroti faktor yang sama. Ia menyebut adanya "inflasi biaya unit di atas normal," yang disebabkan naiknya tarif upah pasar, biaya bandara, dan kesehatan. Menyusul peningkatan biaya yang signifikan, Southwest berkomitmen untuk mengejar penghematan sebesar $500 juta pada tahun 2027.
Situasi ini menciptakan tekanan bagi harga saham maskapai murah, yang pada umumnya tertinggal dibandingkan kinerja pasar maskapai secara keseluruhan. Sebagai perbandingan, dalam 12 bulan terakhir, saham United Airlines meningkat lebih dari 140%, Delta naik 60%, sementara American bertumbuh 7%. Bahkan di antara maskapai murah, Frontier hanya naik sekitar 15%, JetBlue turun 5%, dan Southwest turun 10%.
Maskapai murah turut terdampak keras karena penumpang mulai beralih ke perjalanan internasional, sementara kelebihan kapasitas di pasar domestik membuat sulit menaikkan harga untuk menekan biaya operasional yang meningkat. "Biaya bahan bakar memotong margin keuntungan. Kelangkaan tenaga kerja meningkatkan biaya personil. Selain itu, persaingan semakin sengit di rute regional," ujar Dean Rotchin, CEO dan pendiri BlackJet, perusahaan penyewaan pesawat pribadi.
Sebagai solusi sementara, maskapai telah berupaya memperluas ke pasar lain, dengan hasil yang bervariasi. Boyd menyatakan bahwa Frontier, contohnya, menghadapi persaingan ketat dari tiga maskapai besar Amerika, yakni United, Delta, dan American. "Anda tidak bisa mengoperasikan satu penerbangan sehari antara Charlotte dan Atlanta dan Boston dan berpikir itu akan berhasil ketika Delta memiliki 12," katanya menekankan.
Meskipun selalu ada konsumen yang tertarik dengan tarif murah, pertanyaan besarnya adalah apakah fokus tersebut masih dapat menjamin kelanjutan model bisnis maskapai murah ke depan. Dan Bubb, mantan pilot dan sejarawan penerbangan di UNLV Honors College, berpendapat pesimistis tentang masa depan model bisnis ini.
Dengan berbagai tekanan yang ada, tampaknya industri maskapai penerbangan murah harus beradaptasi atau menghadapi risiko semakin tergerusnya pangsa pasar mereka. Pertanyaan terbesar yang muncul adalah bagaimana mereka bisa berinovasi dan tetap relevan di tengah tantangan yang kompleks ini