Investasi

Baru Mulai Investasi, Kenali 3 Bias Psikologis yang Bisa Merugikan Anda

Baru Mulai Investasi, Kenali 3 Bias Psikologis yang Bisa Merugikan Anda
Baru Mulai Investasi, Kenali 3 Bias Psikologis yang Bisa Merugikan Anda

JAKARTA - Berinvestasi saat ini menjadi salah satu cara penting untuk menjaga nilai kekayaan dari tergerus inflasi. Meski risiko kerugian selalu mengintai, tidak berinvestasi justru bisa berakibat lebih fatal, yakni menurunnya daya beli uang dalam jangka panjang. Contohnya, nilai Rp100.000 pada tahun 1990 cukup untuk kebutuhan hidup seminggu, tapi saat ini nilai tersebut sudah jauh berkurang akibat inflasi.

Dengan berinvestasi, Anda berpeluang mempertahankan daya beli sekaligus meningkatkan nilai kekayaan. Pasar investasi kini semakin variatif, mulai dari instrumen tradisional seperti emas, valuta asing, dan properti, hingga instrumen modern seperti saham, obligasi, reksa dana, dan aset digital seperti kripto.

Namun, keberhasilan investasi tidak hanya bergantung pada pemilihan instrumen dan kondisi pasar. Perilaku dan psikologi investor juga memegang peranan penting. Kesalahan dalam pengelolaan emosi dan pola pikir dapat menyebabkan keputusan investasi yang kurang tepat, bahkan berujung pada kerugian besar.

Head of Investment Specialist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Freddy Tedja, menekankan pentingnya kesadaran diri dan penggunaan logika dalam pengambilan keputusan investasi. “Untuk memperbaikinya dibutuhkan kesadaran diri serta komitmen untuk menggunakan logika dan data dalam mengambil keputusan. Bukannya sekadar mengandalkan emosi semata,” ujar Freddy.

Berikut adalah tiga bias psikologis yang sering kali menjebak investor pemula dan perlu dihindari agar investasi berjalan optimal:

1. Overconfidence (Terlalu Percaya Diri)
Freddy menjelaskan bahwa overconfidence adalah kecenderungan investor yang terlalu yakin dengan kemampuan prediksi pergerakan pasar. Bias ini membuat mereka meremehkan risiko dan mengabaikan informasi yang bertentangan dengan keyakinannya sendiri.

“Para investor dengan overconfidence cenderung melakukan trading lebih sering karena yakin dapat meraih untung besar dalam waktu singkat. Mereka sering mengabaikan biaya transaksi dan risiko tinggi akibat investasi yang kurang diverifikasi,” paparnya.

Kepercayaan diri berlebihan ini dapat menyebabkan reaksi impulsif saat pasar berfluktuasi, sehingga investor jatuh ke dalam pola “buy high, sell low” yang merugikan.

Untuk mengatasi overconfidence, Freddy menyarankan agar investor tetap tenang, terus belajar, dan mencari berbagai perspektif dari sumber terpercaya. “Selalu pegang teguh strategi investasi jangka panjang dan kelola risiko dengan baik,” tambahnya.

2. Loss Aversion (Takut Rugi)
Berbeda dengan overconfidence, loss aversion adalah ketakutan berlebihan terhadap kerugian yang membuat investor menghindari risiko, sehingga melewatkan peluang pertumbuhan kekayaan.

“Biasanya mereka memilih instrumen minim risiko, seperti menabung, yang sebenarnya tidak bisa mengimbangi inflasi dan pertumbuhan investasi,” jelas Freddy.

Akibatnya, investor dengan loss aversion justru mengalami kerugian daya beli dalam jangka panjang karena uangnya tidak berkembang.

Freddy menambahkan, “Kurangnya informasi menjadi penyebab utama perilaku menghindari risiko ini. Padahal di era digital saat ini, informasi tentang investasi mudah didapat jika kita mau mencari.”

3. Herding Mentality (Mengikuti Tren Tanpa Analisis)
Herding mentality adalah perilaku mengikuti keputusan mayoritas investor tanpa mempertimbangkan kesesuaian dengan profil risiko dan tujuan investasi pribadi.

“Mereka percaya bahwa jika banyak orang melakukan hal yang sama, maka keputusan itu benar. Namun ini berisiko menciptakan gelembung pasar (market bubble), di mana harga aset melambung jauh dari nilai sebenarnya sebelum akhirnya jatuh drastis,” kata Freddy.

Menurutnya, pendekatan investasi harus personal dan didasarkan pada riset serta nasihat profesional, bukan semata mengikuti tren.

“Setiap investor punya tujuan, toleransi risiko, dan harapan imbal hasil yang berbeda. Penting untuk memahami diri sendiri dan profil risiko sebelum mengambil keputusan,” tegas Freddy.

Pentingnya Edukasi dan Disiplin Investasi
Keberhasilan berinvestasi bukan hanya soal memilih instrumen yang tepat, tapi juga pengelolaan emosi dan pengambilan keputusan yang rasional. Investor pemula perlu meningkatkan literasi keuangan agar memahami risiko dan peluang yang ada.

Dalam menghadapi pasar yang dinamis dan penuh ketidakpastian, disiplin dalam strategi investasi jangka panjang serta diversifikasi portofolio menjadi kunci utama untuk meraih hasil optimal.

Berinvestasi juga berarti berani menghadapi risiko secara bijak dan menghindari jebakan psikologis yang merugikan. Dengan pengelolaan emosi yang baik, investor bisa lebih tenang menghadapi fluktuasi pasar dan menghindari keputusan impulsif.
Berinvestasi merupakan langkah penting untuk melindungi dan menumbuhkan nilai kekayaan dari efek inflasi. Namun, keberhasilan investasi sangat bergantung pada pengelolaan psikologis investor. Overconfidence, loss aversion, dan herding mentality adalah tiga bias psikologis utama yang dapat merusak keputusan investasi.

Investor disarankan untuk selalu mengedepankan logika, data, dan riset dalam setiap keputusan investasi. Membangun kesadaran diri, mencari ilmu secara kontinu, dan menggunakan strategi investasi yang disiplin adalah kunci menghindari jebakan psikologis tersebut.

“Jangan hanya mengandalkan emosi dan insting. Gunakan data dan pemahaman untuk mengambil keputusan terbaik dalam investasi,” pesan Freddy Tedja.

Dengan pemahaman yang baik tentang bias psikologis dan perilaku investasi, peluang Anda untuk meraih sukses finansial jangka panjang akan semakin besar. Jangan biarkan kesalahan pola pikir menghambat pertumbuhan kekayaan Anda.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index