JAKARTA - Perdebatan mengenai kandungan etanol dalam bahan bakar minyak (BBM) belakangan kembali mencuat setelah sejumlah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) swasta membatalkan rencana pembelian BBM dari PT Pertamina.
Isu ini menyoroti pentingnya transparansi dalam distribusi energi nasional, terutama ketika strategi bisnis dan kebijakan lingkungan mulai beririsan.
Menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR), Fabby Tumiwa, pencampuran etanol maupun zat aditif lainnya seharusnya tidak menjadi bagian dari base fuel — yakni bahan bakar murni yang keluar langsung dari kilang.
Ia menegaskan bahwa proses pencampuran aditif merupakan strategi dagang masing-masing perusahaan, yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan memenuhi standar tertentu.
“Base fuel itu seharusnya tanpa etanol. Etanol maupun zat aditif lainnya dicampurkan setelahnya. Misalnya, di sejumlah negara, pencampuran etanol dilakukan karena ada standar biofuel atau kebijakan energi terbarukan,” ujar Fabby saat dihubungi, Sabtu.
Latar Belakang Polemik BBM Pertamina dan SPBU Swasta
Persoalan ini mencuat setelah SPBU swasta diketahui membatalkan pembelian BBM dari Pertamina karena adanya kandungan etanol dalam produk yang ditawarkan.
Padahal, kerja sama tersebut semula menjadi solusi untuk mengatasi kekosongan stok BBM di sejumlah SPBU non-Pertamina dalam beberapa pekan terakhir.
Fabby menjelaskan bahwa perbedaan persepsi muncul karena definisi “base fuel” tidak disamakan sejak awal antara pemasok dan pembeli. Secara teknis, base fuel adalah BBM yang keluar dari kilang dengan angka oktan tertentu tanpa campuran bahan lain.
Sementara, zat aditif dan etanol baru ditambahkan setelahnya untuk mencapai kualitas tertentu, baik dari sisi performa mesin maupun pemenuhan regulasi lingkungan.
“Base fuel adalah produk murni dari kilang. Pencampuran etanol biasanya dilakukan kemudian, tergantung kebijakan energi atau standar kualitas bahan bakar yang berlaku,” jelasnya.
Dengan demikian, ketika SPBU swasta membeli bahan bakar yang diklaim sebagai base fuel, namun ternyata sudah mengandung etanol, hal ini dapat menimbulkan konsekuensi terhadap kualitas produk akhir mereka.
Etanol Tingkatkan Oktan, tapi Butuh Kesepakatan Teknis
Lebih lanjut, Fabby menuturkan bahwa penambahan etanol pada dasarnya memberikan dampak positif terhadap kualitas BBM. Kandungan etanol dapat meningkatkan angka oktan dan memperbaiki proses pembakaran di mesin kendaraan, sehingga menghasilkan emisi karbon yang lebih rendah.
“Penambahan etanol bisa meningkatkan angka oktan dan memperbaiki pembakaran mesin. Semakin tinggi oktannya, maka pembakaran lebih sempurna sehingga emisi karbon bisa ditekan,” ujar Fabby.
Namun, ia mengingatkan bahwa pencampuran tersebut hanya bisa dilakukan apabila telah disepakati sejak awal antara pemasok dan pembeli. Tanpa kesepakatan yang jelas, pencampuran etanol justru dapat menimbulkan gangguan dalam formula BBM yang sudah dirancang oleh pihak pembeli.
“Kalau mereka beli base fuel yang sudah dicampur etanol, berarti angka oktannya naik. Ketika ditambahkan lagi aditif mereka, bisa jadi angka oktan malah lebih tinggi dari standar produk mereka. Padahal perjanjiannya adalah base fuel, yakni apa yang keluar langsung dari kilang,” jelasnya.
Implikasi Teknis dan Perbedaan Formula BBM
Polemik ini sebenarnya mencerminkan bagaimana perbedaan kecil dalam formula BBM dapat berdampak besar pada industri. Fabby mencontohkan, jika suatu produk impor diklaim memiliki Research Octane Number (RON) 90, maka seharusnya nilai tersebut memang dihasilkan langsung dari kilang.
Akan tetapi, jika bahan bakar tersebut awalnya memiliki RON 86 lalu dicampur etanol 3,5% agar naik menjadi RON 90, maka statusnya tidak lagi dapat disebut base fuel murni.
“Kalau begitu, itu sudah bukan base fuel murni, melainkan campuran. Dampaknya bisa jadi sama dengan Pertalite,” ujarnya.
Kondisi ini dapat menimbulkan masalah baru karena banyak perusahaan swasta telah memiliki formula zat aditif tersendiri untuk menyesuaikan RON sesuai dengan standar produk mereka. Perbedaan kecil dalam komposisi bahan bakar dapat menyebabkan hasil akhir yang berbeda dari sisi performa maupun emisi.
Keterbukaan Informasi Jadi Kunci Kepercayaan Publik
Fabby menilai, di tengah upaya pemerintah mendorong penggunaan biofuel dan bahan bakar ramah lingkungan, praktik pencampuran etanol memang sejalan dengan arah kebijakan energi terbarukan.
Namun, transparansi tetap menjadi aspek penting agar tidak terjadi kesalahpahaman antara pelaku usaha maupun konsumen.
“Meskipun pencampuran etanol sesuai kebijakan energi terbarukan, hal ini tetap harus dilakukan secara transparan agar tidak menimbulkan kerancuan di tingkat konsumen maupun pelaku usaha,” tegasnya.
Transparansi ini penting, lanjutnya, untuk menjaga kepercayaan industri hilir energi serta memastikan bahwa setiap pihak memahami karakteristik produk yang diperdagangkan.
Tanpa keterbukaan, potensi konflik antara penyedia dan distributor akan terus berulang, terutama ketika menyangkut perbedaan spesifikasi teknis seperti kadar etanol, angka oktan, atau formula aditif.
Momentum Evaluasi Kebijakan Energi Nasional
Kasus ini juga membuka ruang evaluasi bagi pemerintah dan pemangku kepentingan dalam industri energi nasional.
Upaya untuk memperluas penggunaan biofuel dan bahan bakar beroktan tinggi harus diimbangi dengan mekanisme komunikasi yang efektif, standar kualitas yang seragam, serta peraturan yang jelas tentang klasifikasi produk BBM.
Langkah tersebut bukan hanya penting untuk menghindari kesalahpahaman antarpelaku industri, tetapi juga untuk memperkuat posisi Indonesia dalam transisi menuju energi yang lebih bersih dan berkelanjutan.
Dalam konteks ini, apa yang terjadi antara SPBU swasta dan Pertamina dapat menjadi pelajaran berharga mengenai pentingnya standarisasi definisi base fuel serta sistem pengawasan mutu yang lebih ketat di seluruh rantai pasok BBM nasional.
Kesimpulan
Polemik kandungan etanol dalam BBM Pertamina menunjukkan bahwa transformasi menuju energi bersih tidak hanya soal teknologi, tetapi juga komunikasi dan tata kelola industri.
Dengan transparansi, konsistensi, dan sinergi kebijakan, Indonesia dapat memastikan transisi energi berjalan adil bagi seluruh pelaku usaha — dari kilang hingga konsumen akhir.