Pengembangan Listrik Panas Bumi Perlu Dukungan Kebijakan Agar Optimal

Selasa, 24 Juni 2025 | 12:38:42 WIB
Pengembangan Listrik Panas Bumi Perlu Dukungan Kebijakan Agar Optimal

JAKARTA - Indonesia memiliki potensi panas bumi terbesar di dunia, mencapai sekitar 23,7 gigawatt (GW) atau sekitar 40 persen dari total cadangan global. Jumlah tersebut menempatkan Indonesia di atas Amerika Serikat yang memiliki potensi sekitar 15 GW (25 persen). Namun, dari sisi kapasitas pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) yang terpasang, Indonesia masih berada di posisi kedua dengan kapasitas sekitar 2,65 GW, setelah Amerika Serikat yang memiliki kapasitas terpasang sebesar 3,9 GW.

Filipina menempati posisi ketiga dengan kapasitas sekitar 1,98 GW, diikuti Turki dengan 1,73 GW, dan Selandia Baru sebesar 1,2 GW. Dalam satu dekade terakhir, Indonesia berhasil menambah kapasitas terpasang PLTP sekitar 1,2 GW, tepatnya pada periode 2014 hingga 2024. Salah satu proyek yang akan segera berkontribusi adalah PLTP Lumut Balai, yang dikelola oleh Pertamina Geothermal Energy (PGE) dengan kapasitas sekitar 55 megawatt (MW).

Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025-2034, pemerintah menargetkan tambahan kapasitas PLTP nasional sebesar 5,2 GW. Meski capaian 1,2 GW dalam 10 tahun terakhir terkesan lambat, dari perspektif ekonomi energi, hal tersebut patut diapresiasi karena mencerminkan sinergi antara pemerintah sebagai regulator, pengembang panas bumi sebagai produsen, dan PLN sebagai pembeli utama atau off-taker listrik panas bumi di Indonesia.

"Pemerintah terus berupaya agar energi panas bumi dapat dikembangkan optimal untuk mendukung ketahanan energi nasional," tegas salah satu pejabat Kementerian ESDM dalam pernyataan resminya.

Namun, pengembangan panas bumi di Indonesia menghadapi tantangan struktural, terutama karena pasar kelistrikan nasional menganut sistem regulated single buyer. Dalam skema ini, PLN bertindak sebagai pembeli tunggal listrik, sementara pemerintah memiliki kewenangan dalam penetapan tarif listrik dan subsidi. Subsidi ini bertujuan agar harga listrik terjangkau bagi masyarakat.

Dalam konteks ini, PLN cenderung memilih sumber energi dengan biaya pokok penyediaan (BPP) yang lebih rendah, seperti pembangkit berbasis fosil atau energi baru terbarukan (EBT) lain seperti pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Saat ini, rata-rata harga listrik dari PLTS bahkan sudah bisa berada di bawah 6 sen dolar AS per kilowatt hour (kWh), jauh lebih murah dibandingkan harga listrik dari panas bumi yang berkisar di atas 10 sen dolar AS/kWh.

Ironisnya, biaya operasi PLTP sebenarnya sangat rendah, hanya sekitar Rp107/kWh, jauh di bawah rata-rata biaya operasi pembangkit nasional yang mencapai Rp1.391/kWh. Namun, tingginya risiko di fase eksplorasi dan pengembangan membuat biaya keseluruhan investasi panas bumi tetap tinggi.

"Tingginya biaya eksplorasi menjadi salah satu hambatan utama dalam pengembangan panas bumi. Perlu ada terobosan kebijakan untuk menurunkan risiko tersebut," ungkap salah satu pengamat energi dari LPEM UI.

Berdasarkan studi LPEM UI tahun 2023, tingkat keekonomian untuk harga listrik panas bumi mencapai 22,77 sen dolar AS/kWh untuk kapasitas 10 MW, turun menjadi 11,8 sen dolar AS/kWh untuk kapasitas 220 MW. Angka tersebut masih lebih tinggi dari Harga Patokan Tertinggi (HPT) listrik panas bumi yang diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022, yakni maksimal 15 sen dolar AS/kWh untuk pembangkit berkapasitas di bawah 10 MW dan 11,5 sen dolar AS/kWh untuk kapasitas di atas 100 MW.

Ketimpangan antara tingkat keekonomian pengembang dan HPT menyebabkan skema feed-in tariff yang diterapkan menjadi kurang efektif. Feed-in tariff seharusnya memberikan jaminan pengembalian investasi dengan tingkat keuntungan yang wajar. Namun, kenyataannya pengembang masih sulit menjual listrik panas bumi sesuai harga keekonomian.

Kesepakatan jual beli antara pengembang dan PLN kerap terhambat karena PLN sebagai pembeli tunggal tidak memiliki kewajiban untuk membeli listrik panas bumi jika tidak sesuai dengan skala keekonomian mereka. Hal ini diperparah dengan ketidakjelasan skema kompensasi atas selisih harga antara HPT dan keekonomian pengembang.

"Dalam struktur regulated single buyer seperti saat ini, percepatan pengembangan panas bumi tidak akan optimal tanpa adanya political will yang kuat dari pemerintah," tegas pakar energi tersebut.

Langkah konkret yang diperlukan adalah penyesuaian tarif listrik dan subsidi agar sejalan dengan target peningkatan kapasitas PLTP yang telah ditetapkan dalam RUPTL. Pemerintah juga harus memberikan insentif fiskal yang memadai kepada PLN agar bersedia membeli listrik panas bumi meskipun harganya relatif lebih tinggi dibandingkan sumber energi lain.

Dalam konteks ini, bukan lagi soal pilihan, tetapi merupakan konsekuensi logis dari struktur pasar kelistrikan nasional yang regulated single buyer. Tanpa intervensi kebijakan yang memadai, target peningkatan bauran energi baru terbarukan (EBT), khususnya panas bumi, akan sulit tercapai.

"Kami berharap ada dukungan penuh dari pemerintah, tidak hanya dari sisi regulasi, tetapi juga dalam bentuk skema pembiayaan yang lebih fleksibel agar pengembangan panas bumi lebih menarik bagi investor," ujar salah satu pelaku industri panas bumi.

Pemerintah harus menjadikan pengembangan panas bumi sebagai prioritas, bukan hanya demi meningkatkan kapasitas listrik nasional, tetapi juga sebagai langkah strategis dalam mendukung transisi energi menuju sumber energi bersih dan rendah karbon. Dengan political will yang kuat dan kebijakan yang mendukung, Indonesia berpotensi menjadi pemimpin global dalam pemanfaatan energi panas bumi.

Terkini